Selasa, 27 Januari 2009

kenangan masa lalu
















bila nanti kita tlah hidup masing2, ingatlah hari ini.

Senin, 19 Januari 2009

DOAKU UNTUK PALESTINA (fikri)

Ledakan bom mengguncang kota
Darah bersimbah di mana – mana
Air mata tidak dapat di tampung lagi
Ayah dan ibu entah di mana

Wahai saudaraku ….
Engkau bertahan membela Islam
Sampai titik darah penghabisan
Engkau tak takut dengan Israel
Engkau takut kepada Allah


Andai aku dapat terbang ke Palestina
Aku akan terbang ke negerimu
Aku akan membantu negeri
Walau aku jadi sarang peluru

Wahai saudaraku di jalur Gaza
Kobarkan semangatmu terus membara
Membela kebenaran memberantas kebatilan

Oh,jalur Gaza…
Kenapa engkau jadi sengketa
Antara Israel dan Palestina
Apa ini sudah takdir yang kuasa

Jumat, 16 Januari 2009

HILANG

Hilang itu sepi
Sepi tanpa Mu
Yang selalu temani diriku
Hilang itu kosong
Kosong tanpa satupun dihatiku
Yang dulu kau tempati
Hilang itu aneh
Aneh… ketika ku tak merasakan Mu
Hilang itu kau
Kau ya Rabb… yang kini meninggalkanku sendiri
Tanpa cerita yang ku ingat
Dan sekarang
Hilang itu aku…
Aku yang menyusuri arah tanpa tujuan
Berhenti tanpa aku sendiri tak tau
Dimana aku berdiri
Sekarang aku kehilangan arah
Arah, yang seharusnya ada di hati ku


GUSTIKA
XII IPS 2
JUARA 1
ADAKAH

Adakah engkau mengerti
Lara sepi merajut kisah hati
Meniti jalan yang mendaki
Menuju asa berselimut sepi

Adakah engkau peduli
Hitam kelam menerpa diri
Pelangi mulai sembunyi
Mentari enggan menyinari

Adakah engkau sadari
Terompah lewat duri
Peluh mengalir deras dalam sunyi
Jasad meraba hati angkuh tinggal sendiri

Adakah engkau pahami
Sang fana akan pergi
Tinggalkan hamba walau masih menanti
Pantang kelbali rugi menanti






ABDUL RANI
XII IPA 2
JUARA2

MUNAJAT ABDI

Dalam inayah yang tak pernah kering
Kau sirami dahagaku yang menyeruak
Kering kerontang, terhempas gelombang nafsu
Kau terus membuka pintuMu
Untuk diriku yang terlalu sering khilaf
Tak dapat terbilang berapa banyak

Dalam munajat kerinduan
Sembah sujudku kubingkiskan untuk sang pemeluk tubuh ini
Mendekap erat hingga tetesan air suci tumpah menghujan bumi

Ya Rahman…
Walau kututup relungku untukMu
Tapi engkau akan terus mengetuknya
Dan aku yang nista
Aku yang berlumur
Renyuh,
Hanyut,
Menderai air mata kala membuka mushaf cintaMu
Menjerit dalam kala untaian indah terlantun
Memohon agar aku dapat maghrifah

Ya rabb…
Engkau boleh ambil segala yang kucinta hari ini
Tapi jangan kau rampas hidayahMu
Sehingga hidup yang kutiti
Hanya bagai buih di lautan
Di hempas, maka berlalu

Ya tawwab…
Jadikan aku abdiMu
Yang setia merangkai selaksa makna pengabdian









HELDA
XI AGAMA
JUARA 3
CURAHAN KASIH
Pancaran sinar matahari menawan di pagi hari
Belaian lembut menyentuh tubuhku
Kehangatan mulai menerpa diriku
Tersadar aku dari tidur lelapku
Memandangi sesosok ratu yang bagaikan permata di hidupku
Ibu… … …
Cucuran air mata yang kau alirkan
Disaat kau mengiginkan ku
Membuat aku menjadi pilu
Engkau adalah sesosok yang ku hormati, cintai, dan kasihi
Senyuman mu membuat hatiku merindu
Ibu… … …
Kata-kata mu bagaikan air yang menyejukkan hatiku
Aku ingin membanggakan dirimu
Aku ingin menjadi apa yang kau mau
Ibu… … …
Membahagiakanmu merupakan memori indah perjalanan hidupku
Masa depanku akan lebih berwarna
Jika aku mempunyai ratu sepertimu
Ibu… … …
Aku tak ingin kehilanganmu
Kasih sayang yang kau beri selalu mengingatkanku
Betapa indahnya hidup ini jika kulalui bersamamu
Ibu… … …
Kumohon padamu jadikan lah aku
Permata yang selalu berkilau
Dan dapat memancarkan cahaya perdamaian
Ibu… … …
Rangkul lah aku agar dapat
Terbang tinggi bersamamu
Dan dapat mengelilingi dunia ini
Dengan penuh sejuta pesona
Kasih dan sayang… … …







MAULINA SEPTIA WATI
X C
HARAPAN I
KEAGUNGANMU


La illaha illa allah
Itulah senandung kalimat thoyibahMu
Engkau goreskan dalam Qalbuku
Engkau genggam semesta fana ini
Jagad raya kau sirami dengan cahaya sucimu

Ombak bergerilya…
Angin bersilahturahmi
Dedaunan bernyanyi dengan hitmad
Suara gemuruh menghempaskan kesunyian
Tetesan kecil menjadi mutiara keagunganMu
Di balik tabir Engkau menuntun ku
Di dasar laut ku tulis namaMu

Di malam yang sunyi ini
Ku bersujud di hadapanMu ilahi
Lindungi aku dalam cahayaMu yang suci
Dari segala yang tidak ku ketahui
Yang mungkar dan keji
Yang mungkin menciptakan tangis dan pedih

Dengan diiringi takbir dan tahlil
KalimatMu yang suci
Memohon kesadaran bagiku yang lupa
Ampunan bagi hambaMu yang salah

Biarkan aku mengarungi rahmat cintaMu…
Bukan mahligai surga yamg kuinginkan
Raut wajahMu lah yang kunanti







MASTUFAH
XI IPA
HARAPAN 2

Senin, 12 Januari 2009

TUGAS KELOMPOK USHUL FIQIH
“ ISTISHAB & SYAR’UN MAN QABLANA”












KELOMPOK 3:
Cahyo Arianto
Helda
Yesi
KELAS : XI AGAMA





Madrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak
Tahun ajaran 2008-2009






ISTISHAB

1)Pengertian istishab

Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu, mencari sesuatu dengan dasar yang berdekatan. Adapun menurut istilah :



“menetapkan hukum sesuatu dengan berdasarkan keadaan hukum yang sebelumnya sehingga ada hukum baru yang mengubahnya.”

Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).” 2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”[3]
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”[

2) prinsip hukum berdasarkan Istishab

Sebagian ulama atara lain golongan Hanafiyah, nenyatakan bahwa Istishab tidak menjadi pegangan. Kelangsungan berlakunya hukum memerlukan dalil sebagaimana penetapan hukum tersebut juga memerlukan dalil. Kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan kelangsungan hukum tersebut baru bisa di pegangi.
Dari prinsip Istishab tersebut banyak di tetapkan kaidah – kaidah dalam Fiqih antara lain:
apa yang yakin telah ada, tidak akan hilang hanya dengan adanya keragu – raguan.
hukum yang pokok bagi sesuatu ialah ibadah atau (perbolehan) sehingga datang dalil yang mengharuskan meninggal hukum tersebut.
tidak adanya kewajiban tetap berlaku, seperti tidak adanya kewajiban shalat yag ke enam, sebagai tambahan dari sholat yang lima waktu.
3) Kehujjahan Al –Qur’an
Menurut Hambaly, maliky, dan Dzahiry, bahwa Istishab ini dapat menhadi Hujjah yang baik manafikan atau mengistimbatkan untuk di jadikan hujjah, dengan alasan bahwa adanya sesuatu pada masa lalu di perlukan dalil dan pada masa sekarang pun sama pula di perlukan dalil.
Menurut Mazhab Abu Zaid seorrang penganut mazhab hanafi mengatakan bahwa Istimbath itu adalah sumber hukum untuk membantah bukan untuk menetaplkan sesuatu hukum. Contoh hakim dapat menolak permintaan ahli waris membagikan harta orang yang pergi tanpa tujuan dan beum di ketahui akan kematiannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Istimbath boleh di jadikan sumber hukum untuk menafikan bukan untuk mengistibathkan, alasanya karena Istishab itu merupajan salah satu cara istidlal yang telah menjadi fitrah manusia dan mereka malukan dengan ketetapannya.
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan IstishhabDalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:Pendapat pertama, bahwa istishab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:1.Firman Allah:




“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2.Rasulullahsawbersabda:“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau menciumbau.”(HR.Ahmad)Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikatistishhabitu. 3.Ijma’. Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.4.Dalil‘aqli.Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:- Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula. - Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.Di antara dalil dan pegangan mereka adalah 1. Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.2. Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula. Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.TarjihDengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya. Istishhab adalah sesuatu yang fitrawi dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaidah al-yaqin la yazulu bi al-syakk –termasuk yang mengingkari istishhab-, dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhab ini. Itulah sebabnya, para qadhi pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.
4) contoh Istishab
Pertama : shalat yang keenam di samping shalat lima waktu yang wajib di kerjakan dalam sehari semalam
Kedua : dalam ayat Al qur’an di terangkan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan dari harta peninggalan orang tuanya.
Ketiga : seorang wanita menjadi hala bagi seorang lelaki sebab ada akad nikah yang sah da halal ini terus berlaku sampai ada sesuatu yang merubahnya.
Keempat: sebagain ulama mengatakan bahwa orang yang shalat dengan tayamum kemudian dalam mengerjakan shalat dia melihat air maka shalatnya tidak batal berdalilkan istishab kepada ijma’ sahnya shalat dengan tayamum sebelum melihat air. Huku itu terus berlakuk sampai ada dalil bahwa air membatalkan shalat.
Pengaruh Istishhab dalam Persoalan-persoalan Furu’iyahBila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhab sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat. Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan furu’iyah yang termasuk dalam kategori tersebut:Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)Orang yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati. Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup –baik untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain-. Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi, dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’iHujjah mereka adalah bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah hukum tersebut.Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.[18]Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal[19]Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah pengqiyasan kepada jika ia meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana –menurut pendapat ini- jika ia meninggalkan istrinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak? Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i. Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu. Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)dan juga hadits:“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.” (HR. Ibnu Majah)Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.[21]Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.Thalaq Setelah Terjadinya Ila’Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan istishhab adalah jika seorang seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal ini:Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan al-Syafi’i.Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang istri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan itu. Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.
Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’ adalah menjadi thalaq ba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinya ila’), maka sang istri tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara ba’in.” Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha. 5)Jenis-jenis Istishab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:1. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas. Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:

“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29)Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Juga firman-Nya:




“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubah.Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad. Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram. Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini. 3. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.






SYAR’UN MAN QABLANA
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya
1. Pengertian dan dasar hukum
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:
Artinya:
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syûra: 13)
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Daftar pustaka:
http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/6 http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/8/1/pustaka-128.html
siwanto deding, Ushul Fiqih untuk madrasah Aliyah Kelas II sem.3-4, armico.
Diktat Usul fiqih XI Agama tahun 2007/2008