Senin, 01 September 2008

KENAPA AKU HARUS JADI RIANG

“Las…. Sabar ya…. yakinlah ini yang terbaik untukmu.” Ucap Vira.
Mulutku tetap bungkam, ucapan – ucapan vira hanya terbalas oleh deraian air mata yang menghempas deras. Napasku putus – putus, seperti di himpit batu besar. Tak satu pun kata – kata yang dapat ku luncurkan. Aku hanya terus menangis dan sesegukan. Kata sabar tak berarti saat ini. Hatiku ingin lontarkan jawaban atas apa yang Vira dan para penziarah katakan. Aku renyuh, kehilangan belahan jiwa, wanita yang selama 14 tahun menjaga dan merawatku kini telah terbalut kafan. Aku meronta atas tidurnya yang lelap dan lama. Aku terus meraung, mataku sembab, hidungku berair dan mulai merona diatasnya. Aku serasa sendiri setelah ibu tiada. Jeritan semakin menjadi – jadi ketika jasad ibu diletakkan didalam liang lahat. Aku tak sanggup untuk menatap kepergian ibu, “gedubrak…..” sempoyongan tubuhku rebah.
Ibu telah punya rumah baru, aku akan sendiri. Aku tak mau….. aku belum siap ibu tinggalkan. Siapa lagi yang akan mencium keningku, menina bobokan, dan merapikan selimut ketika aku terlelap. Tanpa ibu, aku tak mampu hidup.
“Tuhan…kenapa Kau ambil ibu. Aku masih ingin bersamanya disini. Engkau jahat, Tuhan. Kenapa Kau ambil ibuku ?”
Sempat beberapa waktu aku bersu’udzon* kepada Tuhan. Aku merasa tuhan tidak adil pada hidupku. Namun ini semua mengajari aku sebuah arti, aku belajar untuk siap kehilangan. Walaupun itu sakit, tetap harus kurasakan. Kini setelah mendiang ibu pergi, aku tinggal bersama ayah dan ketujuh saudaraku. Awalnya semua berjalan baik, aku masih dapat bercericau ria bersama teman – teman. Aku masih jadi siswi yang berprestasi, aku belajar mengaji dan sholat dari ibu teman baikku, Fitri. Maklum saja, setelah ibu tiada, tidak ada lagi yang dapat mengajari aku tentang islam, pasalnya ayah adalah orang nasrani. Tapi anehnya, ayah tak pernah pergi beribadah ke gereja. Ayah jarang pulang, menelantarkan anak – anaknya, dan jikalau pulang pun sudah barang tentu dalam keadaan terhuyung – huyung dengan mulut semerbak bau arak.
Waktu menelan hari, ayah semakin renta, umurnya telah 60 tahun. Ia sudah tak dapat lagi menafkahi kami anak – anaknya. Karena faktor itu kami terpaksa berhenti sekolah , dan aku juga harus berpisah dengan teman – teman yang baik padaku, Fitri, Vira, Rahma, dan Lia. Sekarang aku harus tinggal di panti. Semenjak itu keadaan keluargaku seperti kapal yang terhempas ombak, kandas oleh karang. Kakakku pergi entah kemana; ada yang menikah, merantau, jadi TKI dan sebagainya. Begitu pula dengan adikku, mereka masuk panti yang berbeda satu sama lain. Keluargaku telah berantakan.

*****************
Telah lama aku mencoba untuk mengobati torehan luka ini, biarlah yang lalu pergi tak ingin ku ingat lagi. Di panti, aku adalah Lastri yang baru, aku bebas. Kenangan manis bersama mendiang ibu mulai terkikis oleh tepauan lara, bertahan hidup di rimba dunia. Tak ada yang bisa menjaga keselamatan dan hidup ini selain aku sendiri. Kegetiran hidup begitu aku rasakan. Kini aku tak kenal lagi seragam sekolah, wajah guru – guru, ruang kelas, bel yang selalu menjerit, semua. Kabar tentang sahabat – sahabatku sudah tak lagi mendengung di telinga, membuat rasa rinduku pada mereka menyeruak. Aku teringat kembali saat kami tertawa, berkumpul, menangis, saling mencurahkan isi hati, dan ketika kami membicaraka tentang pujaan hati masing – masing. Semua telah terbungkus rapi dan tak tersentuh lagi.
Di sini, tak ada lagi yang dapat menyekat lelehan air mataku, tak ada wajah lucu yang dapat menggeser durjaku, mereka tak ku temui lagi. Setelah dua tahun, kembali ada harapan aku ingin bersekolah lagi, dan harapanku bukan hanya sekedar asa, aku benar – benar bersekolah lagi. Aku dapat bersuka cita kembali, bertemu banyak teman, guru, dan semua yang pernah ku rasakan dulu. Namun, gemuruh duka belum reda, masih banyak kilatan kepedihan yang akan merundung. Tumpahan air surgawi belum cukup memenuhi bejana nestapa. Tak ada lagi kata bermanja – manja, setiap hari aku harus berkerja, tak boleh berontak, jika tak ingin di siksa yang tak hingga rasanya.
Aku memang tak punya apa – apa lagi, tapi aku masih punya dua mutiara yang tak dapat di gantikan oleh apapun. Jung dan Ve, dua gadis bersuku dayak yang merupakan korban dari kekejaman hidup, di terlantarkan oleh kedua orang tua, merekalah yang dapat membuat ku masih dapat bertahan dalam keterpurukan ini. Kami bertiga tumbuh menjadi para dara* yang tak kenal kata takut. Jika ditanya masalah kabur dari panti, kami ahlinya. Perasaan senasib menjadikan jiwa – jiwa kami menyatu, ada jalinan yang kuat merengkuh kami. Kami memang bengal*, tapi kami kami adalah orang – orang yang sangat menghargai solidaritas. Sahabat adalah segalanya. Jika hidup ini tanpa pacar kami masih dapat hidup, tapi jika tanpa sahabat, hidup terasa kurang menggigit, seperti sambal tanpa terasi. Pernah suatu hari Ve mengajak aku dan Jung untuk mengikrarkan janji persahabatan dengan melukai jari tangan masing – masing, lalu tetesan darah itu di satukan, sebagai simbol kami tak akan pernah terpisahkan, kecuali oleh kematian.

***************

Sesuatu yang kita jalani, suatu saat nanti pasti akan menemui titik kulminasi kejenuhan. Aku sudah tak mampu bertahan lagi di panti, akhirnya kuputuskan untuk kabur dari tempat itu. Dengan kata lain sekolahku juga akan ikut terbengakalai. Ini bukan sebuah pilihan yang mudah. Aku harus berkerja untuk menyambung hidupku, atau paling tidak agar aku dapat bisa uang untuk makan agar perutku tidak kosong berhari – hari. Tapi aku harus kerja apa? Ijazahku hanya ijazah SD, kemampuan lebih pun aku tak punya. Penat sangat aku memikirkan ini, “beri aku jalan keluar, Tuhan”. Hingga akhirnya seorang kenalan mengajakku untuk bekerja sebagai karyawan disebuah kafe. Jelas tawaran itu tak ku timbang lama – lama, aku setuju dan aku pun dapat langsung bekerja di tempat itu.
Alangkah bahagianya, tenyata gaji petamaku jauh diluar dugaan, jumlahnya lebih besar. Seronok* rasa hatiku. Kini aku tak perlu cemas lagi pada perutku, kapanpun terasa lapar, tinggal mengambil uang di dalam dompet. Semakin aku terbuai pada pekerjaanku, potret – potret masa lalu kini semakin pudar, samar – samar, lalu tak kelihatan lagi. Aku berpikiran untuk apa sekolah, lebih baik begini. Toh sekolah belum tentu membuat aku sukses dan hidup enak seperti ini.
“Las….ini ponsel untukmu, ambillah” ucap bosku.
Aku berjingkrak riang, hidupku kembali berpendar. Rupanya Tuhan masih mau berbagi nikmatnya padaku, tapi aku tak tahu bagaimana harus bersyukur. Sebagai orang muslim atau sebagai orang nasrani.
Aku terikat dalam dua keyakinan. Semasa sekolah aku yakin pada keislamanku, tetapi setelah ibu meninggal dan saat aku dipanti, aku meragukan keyakinan itu, aku tak pernah lagi mengaji dan tak kenal yang namanya sholat, kaki pun telah lama tak menapaki masjid. Aku buta pada Islam. Aku jauh lebih dekat pada Injil, pada Gereja, dan pada nyanyi-nyayian untuk Tuhan Allah. Jung dan Ve kerap kali yang mengenalkan aku pada itu, mereka merubah semua yang pernah ada pada diriku. Tak luput pada pergaulan; rokok, alkohol, obat, seks, itu yang mereka kenalkan padaku.
Keadaan hingar bingar ditempat kerjaku tak begitu mengusik, aku telah terbiasa pada semua itu. Ditempat ini tak hanya berbagai macam minuman dan makanan yang dijual, disini juga ada jual daging*. Para pelayan yang mengantar pesanan kepada para tamu yang kebanyakan adalah lelaki hidung belang dapat memberikan servis tambahan, pelayanan plus pemuas birahi.
Aku tahu resiko yang dihadapi bila aku tetap disini. Tak pelak aku pernah dirayu untuk menemani bapak – bapak yang tua bangka, bermalam disebuah hotel. Aku masih punya akal sehat. Seberapa besar uang yang lelaki itu akan berikan padaku, kehormatan jauh tak bernilai lagi. Aku berusaha untuk mempertahankan marwah* ini.
Selama bekerja disini, banyak orang yang ku kenal. Tua, muda, baik, jahat, tampan, jelek, pria, wanita, semua ku temui setiap hari. Aku melayani banyak orang yang berkunjung di kafe ini yang semakin hari semakin berkembang. Senang tak terkira, aku sangat semangat menepaki hari-hari. Tempat ini banyak memberikan aku pencerahan. Tempat ini juga jadi tempat bertemu dua anak manusia yang haus akan cinta kasih. Iwan, seorang lelaki berparas tampan hadir dalam hari - hariku. Bayang – bayangnya menjadi penyemangat kerjaku. Ia sering datang ke kafe untuk menikmati secangkir kopi, bercengkrama dengan teman – temannya, atau sekedar datang hanya untuk tahu kabarku hari ini.
“ Oh Tuhan…… inikah rasanya jatuh cinta. Makanan selezat apapun tak akan sanggup menggoda jika virus ini telah bersarang di dalam tubuh. Aku serasa mampu tak makan bertahun – tahun, asalkan aku dapat menatap wajah iwan setiap hari, setiap saat, setiap waktu dalam hidupku. Aku kira cintaku bertepuk sebelah tangan, ternyata tidak. Sebulan setelah kami saling mengenal Iwan mengutarakan isi hatinya padaku “aku cinta sama kamu, Las. Aku ingin menjagamu, menjadi pangeran yang akan selalu melindungi sang permaisuri selama hidupnya. Aku ingin jadi pangeran, dan aku juga ingin yang jadi permaisuri itu adalah kamu. Kita akan tinggal di istana keabadian. Aku janji akan selalu setia mencintaimu. Hanya namamu yang ada di hatiku, Las. Jadi, apa kau mau menjadi pacarku?”
“ Deg, bunga di taman cintaku bermekaran. Semerbak bau wangi memenuhi relungku, aku terbuai oleh kata – kata bak pujangga. Aku tak dapat membalas kata – kata puitisnya”
“ maaf….. bukannya aku tak menghargai Iwan, hanya saja …..”
Aku menghentikan kata- kata, ku lihat Iwan tertunduk dalam di saat aku menjawab permintaannya. Aku tak sanggup melihat wajah takutnya, ia pasti tak mau cintanya di tolak, dan akhirnya…. “ maaf Wan, aku tak akan mungkin bisa menolak orang seperti kamu. Aku mau jadi pacarmu.” Ucapku.
Kembali senyum tergurai di wajah Iwan mendengar jawabanku. Dan aku telah resmi menjadi pacar iwan.
Senada cinta bersemi di antara kami . Aku ingin mengumumkan berita ini pada dunia, tapi aku yakin dunia tak bakal perduli. Masih banyak hal yang harus ia pikirkan; bencana alam yang tak kunjung henti, kelaparan manusia di mana – mana, manusia sudah tak malu lagi bertelanjang badan berjalan di luar rumah, para koruptor yang sibuk mengeruk uang rakyat, para pemimpin yang sibuk berebut kekuasaan untuk dapatkan kekayaan, bayi – bayi yang menangis karena di buang hasil dari hubungan gelap,dan masih banyak lagi yang harus di pikirkan. Jadi, tak ada untungnya dunia tahu.
Gelora cinta mengantarkan kami ke hubungan yang lebih dalam, dari sekedar teman, jadi pacar. Dari yang awalnya hanya jalan berdua, makan malam, pegangan, ciuman, hingga hubungan badan. Kami bercinta layaknya suami istri, aku tak dapat menepati janji pada diriku sendiri, manusia mana yang mampu jika terus menerus dihantam oleh rayuan syaitan untuk sedikit mencicipi nikmatnya surga dunia.
Harga diriku telah terkikis, “Kame’ dah ancor, tak ade gunenye age’ idup, kalo’ dah bunting ape age’ yang nak dibuat.” *Perbuatan nista itu telah ku kerjakan, aku sudah kotor.
“Bodoh........,kenapa aku mau menyerahkan begitu saja kehormatanku pada Iwan. Aku hamil, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Pertanyaan yang konyol, percuma saja. Nasi telah menjadi kerak. Cinta telah membuat aku buta. Cinta membuat aku tak dapat berpikir waras, aku pikir ini bukti bahwa aku benar – benar cinta pada Iwan, lelaki yang kukenal selama aku bekerja ditempat itu. Cinta membuat dungu, aku tahu Iwan itu pecandu, Iwan itu perokok, Iwan itu lelaki yang sering bercumbu pada banyak wanita, tapi aku tak dapat bohongi hatiku, namanya terukir didalam gumpalan merahku. Aku pasti akan bahagia bersama Iwan, karena ia mau bertanggung jawab terhadap accident itu. Setelah aku bersamanya, besar pengharapan agar badai ini segera berlalu, aku telah lelah. Aku ingin hidup bahagia. Membesarkan hasil dari buah kasih sayang kami.

********************

Riang menutup bukunya.
Semua mata tertuju padanya. Tak ada satu orang pun yang mau berkomentar tentang kekurangan kisah yang baru saja Riang bacakan. Gadis itu sadar,bahwa teman – temannya masih tak percaya pada apa yang baru saja mereka dengar. Sungguh luar biasa, tak ada satupun celah untuk mengkritisi kumpulan kisah pilu yang apik.*
“Kalian pasti tak percaya dengan apa yang kuceritakan. Terserah.... itu hak kalian. Yang jelas Lastri itu nyata. Kehidupan itu pernah ada. Kalian mungkin akan kasihan pada Lastri. Tapi, aku tidak. Malah sebaliknya aku amat benci padanya. Kalau ia masih ada dihadapanku, aku ingin sekali menghenyak – henyakkan* mukanya kedinding. Ingin kuluapkan semua kemarahanku padanya.”


“Kenapa riang?” tanya salah seorang penasaran.
Riang nenghela napas panjang. Ia mencoba untuk tak menangis, berusaha tetap tersenyum di hadapan teman – temannya.
“Lastri tak tepat pada janjinya. Setelah ia melahirkan, tak sedikit pun Lastri ambil peduli pada buah hatinya. Bayi kecil itu seperti tak berarti, dia biarkan menangis, tertidur, dan terus menjerit. Andai Tuhan mau mengabulkan harapanku agar dapat dipertemukan pada Lastri. Banyak hal yang ingin kukatakan padanya. Aku ingin ia bertanggung jawab atas hidupku, hidup tanpa kasih sayang, hidup tanpa belaian, tak akan ada artinya. Aku tak dapat menahan tumpahan tangis kala aku melihat kalian mencium tangan orang tua ketika hendak berangkat sekolah. Aku cemburu, aku ingin hidup seperti kalian. Masa- masa yang harusnya ditumbuhi oleh bunga cinta, manisnya kisah dua sejoli tergantikan oleh pilunya rasa terhentam kebencian. Lastri membuat hidupku berantakan. Tidakkah Lastri belajar dari kesalahannya. Tapi, nampaknya tidak. Lastri menurunkan garis nasibnya padaku. Beberapa tahun lagi aku pasti akan mengikuti jejak Lastri, menjadi terpuruk. Kisahku mungkin sedikit berbeda darinya, diawali dengan perginya wanita yang melahirkanku, bukan pergi karena meninggal dunia, tapi pergi untuk mencari kepuasan sendiri. Setelah itu hidupku akan terkatung – katung, dilempar kerumah nenek, dioper ke tante, disundul kerumah penampungan, lalu ditendang kejalanan, direbutkan dan terus. Lastri dan Riang akan jadi bukti betapa kerasnya menorehkan makna kehidupan, dan kembara cinta yang memupuskan cita – cita dan harapan.

********************


Jangan jadi Lastri dan Riang. Cukuplah kisah ini abadi diatas tabula rasa*. Tak boleh sampai terukir lagi pada Lastri dan Riang yang lain. Sayang, hidup ini hanya sekali.








Foot note:
Su’udzon : berprasangka buruk
Dara : (bahasa melayu) anak gadis,remaja
Bengal : (bahasa melayu)
Seronok : bahagia, senang
Jual daging : perumpamaan orang melayu yang artinya bisa jadi pelacur, pemuas nafsu
Marwah : harga diri, martabat
Bengal : nakal
Apik : (bahasa jawa) bagus.
Menghenyak – henyakkan : menghantamkan.

Kame’ dah ancor, tak ade gunenye age’ idop. Kalo dah bunting ape age’ yang nak dibuat (hidupku sudah berantakan, tidak ada gunanya lagi hidup. Kalau sudah hamil, apa lagi yang bisa kuperbuat.)


*) agustus, 2008