Senin, 15 Juni 2009

Awas, Godaan Belut!

Bergerak dalam dakwah tak ubahnya seperti bertani. Diawali dengan kehati-hatian menyemai benih. Kemudian, dengan penuh was-was, menanamnya di areal sawah luas. Ada rasa khawatir kalau tunas-tunas muda termakan hama. Tapi kadang, kehadiran belut dan gabus bisa menggoyahkan penantian. Demi rezeki dadakan, padi muda terlantar.
Hidup dalam gerakan dakwah memang penuh tantangan. Seperti tak mau berhenti, ujian dan cobaan silih berganti menghadang. Kalau mau ditafsirkan, ujian mungkin bisa berukuran kolektif. Dan cobaan bersifat individual.
Disebut kolektif, karena cakupannya menyeluruh meliputi apa pun. Termasuk, lembaga yang menjadi payung dakwah. Bayangkan, jika sebuah lembaga yang begitu peduli dengan dakwah dicap sebagai sarang teroris. Mulailah cap buruk itu menyebar ke seluruh masyarakat. Ada yang prihatin, dan tak sedikit yang akhirnya mencibir.
Begitu pun dengan cobaan. Tanpa dakwah pun, setiap orang tak bisa luput dengan cobaan. Karena hakikat kehidupan adalah cobaan. Siapakah di antara kita yang akhirnya mampu mempersembahkan produk yang terbaik. Dan dakwah memberikan bobot tersendiri dari nilai sebuah cobaan. Apa pun bentuknya.
Lahir dan meninggal misalnya, merupakan pemandangan biasa buat masyarakat. Biasa karena setiap orang akan mengalami itu. Tapi, itu akan berbeda ketika sudut pandang menyertakan hitung-hitungan dakwah. Kelahiran bisa diartikan sebagai penambahan aset dakwah. Dan kematian berarti pengurangan pendukung dakwah. Penambahan dan pengurangan pendukung dakwah adalah bentuk lain dari anugerah dan masalah dalam dakwah.
Pendek kata, seorang aktivis dakwah tidak mungkin memisahkan antara masalah pribadi dengan masalah dakwah. Keduanya selalu berkait. Masalah mencari isteri atau suami, juga akan berdampak pada masalah dakwah. Begitu pun dengan urusan pekerjaan, lokasi tempat tinggal, dan sebagainya.
Di masa Rasulullah saw., ada seorang sahabat dari kaum Anshar yang menangkap pesatnya perkembangan Islam dengan kacamata yang keliru. Di satu sisi, ia memang bersyukur kepada Allah swt. Islam kian meluas menembus batas benua. Tapi, ketika menoleh ke diri dan keluarga, ia pun mulai terpengaruh untuk tidak lagi ikut dalam pentas perjuangan Islam. “Ah, cukuplah perjuangan saya sampai di sini. Sudah banyak kader-kader Islam yang lebih kredibel. Kini, saatnya memperbaiki ekonomi pribadi,” seperti itulah kira-kira ungkapan sang sahabat.
Saat itu juga, Allah swt. menegur. Turunlah ayat Alquran surah Albaqarah ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat ihsanlah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub Al-Anshari. Menurut Tirmidzi, hadits ini shahih)
Mungkin, secara manusiawi, niat baik sahabat Rasul itu bisa dimaklumi. Wajar kalau mereka mulai menatap kemapanan ekonomi diri dan keluarga setelah sekian tahun berkorban habis-habisan buat perjuangan dakwah. Wajar kalau seorang kader perintis mulai menghitung masa depan keluarga setelah tampak masa depan Islam kian gemilang. Mungkin, dalih-dalih itu bisa dianggap wajar.
Namun, Allah swt. justru menilai niat itu sebagai sesuatu yang berat. Salah. Bahkan, menjerumuskan diri kedalam jurang kebinasaan. Allah swt. tidak menginginkan hamba-hamba-Nya yang selama ini gemar investasi pahala yang begitu besar, tiba-tiba putus untuk urusan domestik. Karena, balasan dari Allah yang telah tersiapkan jauh lebih baik dari apa yang akan mereka usahakan di dunia ini.
Firman Allah swt. dalam surah Ali Imran ayat 14, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”
Peristiwa itu kian mengingatkan generasi dakwah pasca sahabat Rasul bahwa sulit memisahkan antara kepentingan dakwah dengan urusan pribadi. Karena di situlah nilai lebih seorang aktivis dakwah. Ia telah menjual dirinya kepada Allah swt. Dan transaksi itu mencakup bukan saja urusan potensi diri, melainkan juga segala sumber daya yang melingkupinya. Termasuk, harta dan bisnis.
Begitulah firman Allah swt. dalam surah At-Taubah ayat 111. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh….”
Suatu ketika, ada seorang pemilik pohon kurma yang pelit dengan tetangganya. Mayang pohon ini menjulur ke rumah sang tetangga yang fakir. Setiap kali akan memetik buah, sang pemilik selalu melalui halaman si fakir. Tapi, tak satu pun kurma yang diberikan. Bahkan, kurma yang sempat terpegang anak sang tetangga yang fakir pun ia rampas. Tinggallah sang fakir menahan rasa. Hingga akhirnya, ia mengadu ke Rasulullah saw.
Rasulullah menemui sang pemilik pohon. “Maukah kau berikan pohon kurmamu itu kepadaku. Dan ganjaran pemberian itu adalah surga,” ucap Rasul. “Hanya itu? Sayang sekali, pohon kurma itu teramat baik.” Dan, sang pemilik itu pun pergi.
Tawaran Rasul tetang pohon kurma itu pun sampai ke telinga seorang sahabat yang kaya. Ia menemui Rasul. “Apakah tawaran Anda tadi berlaku juga buatku?” tanya sang sahabat. Rasul pun mengiyakan. Serentak, ia mencari sang pemilik pohon. Dan terjadilah tawar-menawar. Sang pemilik pohon berujar, “Pohon kurma itu tak akan aku jual. Kecuali, ditukarkan dengan empat puluh pohon kurma.” Awalnya, sang sahabat agak keberatan. Tapi, akhirnya ia pun setuju. Kemudian, ia menyerahkan kepemilikan pohon itu kepada Rasulullah saw. Dan, Rasul menghadiahkannya kepada si keluarga fakir.

Peristiwa itu mendapat penghargaan tersendiri dari Allah swt. Dan, turunlah surah Al-Lail. Di antara surah itu berbunyi, “…Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka, Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan yang sukar)….” (QS. 92: 5-10)
Ujian dan anugerah akan silih berganti menghias jalan dakwah. Dan, pagar jalan itu adalah sabar dan istiqamah. Tinggal, bagaimana pilihan kita. Siapkah kita menanti panen padi dakwah yang telah kita tanam dengan waktu yang begitu lama. Atau, menjadi terpedaya dengan lambaian belut dan gabus yang menggiurkan.
Subhanallah………. Cuplikan cerita ini mengingatkan kita akan ladang da’wah terutama di MAN 1 yang semakin kurang tunas barunya. Mungkin kita sebentar lagi akan naik kelas 3 (AMIN……Insyallh) dan akan mempercepat langkah kita beranjak dari sekolah lama menuju ladang ilmu yang baru dengan jenjang pendidikan yang semakin tinggi, guna menggapai cita2 Qt yang telah Qt impikan, tapi,,, apakah Qt pernah berfikir akan perkembangan Dakwah.
Saudari ku marilah Qt renungkan,sudah berapa lama Qt berAzzam untuk menjadi ADS, sudah berapa lama Qt mengikuti Tarbiyah, tapi perubahan apa yng telah Qt buat, apa yang telah Qt berikan terhadap Islam ini,jangan tanyakan apa yang telah Islam berikan kepada Qt, tapi adakah sejarah yang telah Qt ukir untuk Islam dibumi MAN ini, tidakkah kah ingin Qt menjadi pengukir sejarah atau bahkan Qt hanya sebagai penonton saja?
Saudari ku selama ini Qt Egois, hanya memikirkan diri sendiri, sibuk dengan hal2 yang tidak penting terlena oleh keindahan Dunia, tanpa Qt memikirkan perkembangan Dakwah khususnya di bumi MAN ini.
Saudari ku Jangan pernah lagi kita egois utk memikirkan diri kita sendiri, menghabiskan wak2 tanpa ada manfa2tnya, tapi ingatlah wahai saudari ku Qt adlh aktifis dan Tegaknya Islam di bumi MAN ini kedepannya ada di tangan Qt, cepat bergerak, tahu apa yang harus di lakukan tanpa di komando lagi
Saudari ku bersyukurlah Qt mendapat kesempatan untuk berladang di ladang amal, dan jangan pernah sia2kan kesempatan ini, ukirlah sejarah dalam hidup ini, jadilah Agent Of Change. sebelum ajal menjemput Qt.
Terakhir jangan pernah berhenti untuk Tarbiyah dan berdakwah…

Tarbiyah bukan segala-galanya tapi Dengan Tarbiyah Qt dapat mencapai segala-galanya.

Tetap Istiqomah dalam Dakwah



Disampaikan pada 3 juni 2009
By: Thambenk






Impian Qu
Nafas berhembus perlahan terengah…..
Menahan raga yang tiba2 terengah pilu……
Tubuh yang tiba2 melemah membuat Q menangis.
Mungkin memang aq cengeng dan lemah
Mungkin aq banyak mengeluh pd semua…
Q juga yang membuat kalian terhanyut sedih
Maafkan aq SAHABAT q……..

Mudah2an hari kemarin tak terulang kembali
Q tak ingin di dalam lemah q mereka menangis
Mungkin memang hidup tak ada yang abadi
Seperti nyawa suatu saat akn meninggalkan raganya

Bolehkah q memohon tuk sekali lagi…….
Kalian harus tersenyum walaupun apa yang akan terjadi
Jika hari itu datang utk mengmbil genggaman sementara q dari kalian
Jika raga yang q dedikasikan itu harus berakhir
Dan membuat peluk hangat terakhir q mengambang……

Q kan tuliskan seluruh kenangan kita dengan tinta biru ini
Di atas nisan q kelak dan q akan bawa wajah kalian di pelupuk mata
Yang akan tetap tertutup utk selamanya dalam bisu…….
Akan q ingat saat2 hangat kalian di sisa hidup q….

Biarkan waktu akan menjawab kehilangannya diri q dari kalian
Biarkan pula raga hangat q terakhir mendekap kalian
Jangan tangisi tinta biru ini…
Jangan pula kalian tangisi kata2 ini……
Apa lg kalian tangisi raga sementara q……..

Q tulis semua ini utk sahabat2 q nun jauh d pelupuk mata Tapi dekat d hati



HARUSKAH JILBAB INI KULEPAS?

Bismillah…
Perlahan tapi pasti. Ia tetap melangkah meski hatinya bak genderang perang. Semua berkumpul di ruang tamu. Ratna segera menghampiri dan duduk di dekat kedua orang tuanya. Walaupun ia tak yakin dengan hal ini, mundur atau terus maju, hatinya bergejolak. Lama ia diam, hinga ayah yang mulai angkat bicara.
“Rat, kamu kenapa diam, tidak seperti biasanya?” tanya ayah
Ratna terkejut, dengan takut-takut ia mencoba mengeluarkan isi hatinya.
“Yah, Ratna ingin pakai jilbab”
Tapi ayah tak begitu menanggapi, wajahnya biasa-biasa saja, seperti tak ada sesuatu yang terlontar dari mulut anaknya. “Apa alasan kamu mau pakai jilbab?” tanya ayah menyelidiki
Jantung Ratna semakin dag…dig..dug. Tapi ia terus berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. “Teman Ratna rata-rata sudah pakai jilbab, hanya beberapa orang yang belum, termasuk Ratna. Ratnakan malu, yah.”
“Hanya mau ikut-ikutan? Sebaiknya tidak usah.” Ucap ayah tegas
“Bukan, bukan itu alasan pastinya. Memang sudah sejak lama Ratna ingin pakai jilbab. Tapi, ibu selalu melarang Ratna. Makanya baru sekarang Ratna berani meminta izin.”
“Bagaimana bu?” tanya ayah sambil melirik pada istrinya
“Terserah ayah saja. Ibu hanya sangsi, takut niatnya hanya setengah-setengah. Hari ini menggebu-gebu, besoknya sudah kemana-kemana.” Lugas ibu
“Tapi kali ini Ratna janji bu, Ratna akan pakai jilbab sampai seterusnya.” Ucap Ratna meyakinkan. “Ayolah yah, Ratna benar-benar ingin pakai jilbab.” Tambah Ratna merengek
Ayah berpikir sejenak, lalu menyerup secangkir kopi hangat di hadapannya. “Menurut ayah, sebaiknya kamu itu nikmati dulu masa mudamu. Pakai jilbab itu nanti-nanti saja, kalau sudah kuliah baru ayah izinkan.” Tukas ayah
***
Kata-kata itu menyurutkan semangat Ratna. Telah lelah ia berargumen ini dan itu, hasilnya tetap saja nihil. Namun bagi Ratna itu semua hal kecil yang tak perlu di cemaskan. Ia yakin, saat itu pasti akan datang, pasti.
Kemarin ia boleh kalah, tapi ia yakin tidak untuk kali ini. Setelah tamat SMP, ia meminta untuk di kirim masuk pesantren. Tentu saja permintaannya membuat seisi rumah geger, berkerut kening. Pasalnya sang ibu terlalu sayang padanya, hingga takut terjadi sesuatu pada gadis cantiknya jika tak di dekatnya. “Baiklah, Ratna tidak akan bersedih jika tidak masuk pesantren, tapi Ratna ingin bersekolah di Aliyah!” Ucapnya ngotot. Ya, apa mau di kata, kedua orang tuanyapun mengikuti kemauannya. Akhirnya, mimpi pakai jilbab, telah tercapai, sekarang tinggal menjaga keistiqomahan untuk terus memakainya.
“Nah gitu dong. Ayah dan ibu kan sayang pada Ratna. Apa ayah dan ibu mau kalau anaknya ini badung, tak karuan, kurang ajar, dan suka keluar malam, tidakkan? Bersyukurlah karena di karuniai anak yang sadar akan masa depannya. He…he…he…” tukas Ratna menggoda
Tak dapat terkiaskan betapa senangnya hati Ratna. Setiap hari auratnya selalu terjaga, jilbab menjuntai hingga ke dadanya. Subhanallah, menyejukkan mata yang memandang. Ratna tak segera puas dengan prestasinya ini, ia terus berusaha mengembangkan diri. Menimba ilmu dengan sungguh-sungguh, dan memperbaiki akhlak adalah hal yang selalu di upayakannya.
Suatu sore, teman-teman SMP Ratna; Mira, Sinta,Zia, Vira dan Sukma bertandang kerumahnya. Semua terperangah tak percaya melihat Ratna memakai jilbab, karena mereka tahu siapa dulunya Ratna.
“Ini Ratna Sintia kan? Apa aku mimpi, seorang Ratna yang dulunya putri solek kini memakai jilbab?” tanya Zia sambil mengucek-ngucek matanya.
“Ini Ratna. Memangnya ada yang salah ya?” tanya Ratna
Semua tertawa, tentu saja Ratna yang jadi bahan tawaannya.
“Hei..semua. Aku yakin, seminggu lagi Ratna pasti sudah gerah dengan jilbabnya ini. Kalian tahu kan, Ratna ini tipe orang yang mudah bosan” cela Sukma
Semua kembali tertawa.”Kalian datang kemari karena rindu padaku, atau hanya ingin mencela penampilanku sih?” tanya Ratna dalam hati. Ratna hanya menyunggingkan senyuman. Baginya tak ada yang salah, mungkin mereka yang belum mengerti. Alah, hanya gigitan semut. Lama-lama juga hilang sakitnya,seperti itulah ia menanggapi ejekan-ejekan itu.
“Guys, malam ini kita party, yuk” ajak Mira
“Iya, kita sudah lama tak bersenang-senang nih.” Timpal Sinta
“Setuju.....” jawab yang lain serempak
“Kamu, Rat? Tanya Vira
Ratna kembali mengembangkan senyum,”Maaf, Ratna tidak bisa ikut.”
“Alah, munafik. Dulu, kamu yang suka mengajak kita, sekarang malah kamu yang menolak, jangan sok sucilah, sampai kapan sih kamu tahan dengan jilbab jelekmu itu?” tukas Mira
Astaghfirullah. Ratna hanya dapat mengelus dadanya. Tak sepatahpun dapat keluar dari mulutnya sebagai bentuk pembelaan.
“Ok, kita tanya sekali lagi. Kamu mau ikut tidak?” tanya Vira kedua kalinya.
Lama Ratna menunduk, hatinya galau. Jika ia tetap kekeh pada jawaban tidaknya, teman-temannya pasti marah dan meninggalkannya, bahkan lebih parah, mereka tak mau kenal Ratna lagi. Semua merayu, mendesak, bahkan mengancam. Ratna makin Ragu.
“Rat, kita masih muda. Kalaupun sekarang kamu lepas jilbab dan ikut kita party, tidak akan ada yang marah. Jalan kita masih panjang buat insaf. Bukankah Allah itu maha pengampun, kalau sudah puas, sudah tua, barulah kita bertaubat, mudahkan? Jelas Sukma.
“Betul Rat, selagi masih muda, happy-happy saja dulu. Apa pakaianmu ini tidak membuat risih, ayolah jangan munafik. Yuk ikut kami?” bujuk Mira
Keadaan makin membuat Ratna tersudut,”Haruskah aku buktikan, aku tidak munafik. Tapi kenapa mereka mengatakan aku munafik, munafikkah jilbabku, munafikkah seseorang yang ingin berubah ke arah yang lebih baik, di mana, apanya yang munafik?”. Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Sungguh, ini sudah kelewatan, tapi Ratna mencoba untuk sabar. Jika ia turut dalam situasi panas ini, apa bedanya ia dengan ke lima temannya.
Saat situasi tenang, Ratna mencoba memberi penjelasan.”Teman-teman, Ratna punya sebuah gambaran.” Ia menghela napas, lalu bicara lagi. “Ada kue yang di jual di pinggir jalan. Tidak di tutup, semua orang boleh memegangnya, meraba, bahkan menjamah. Dan ada juga kue yang di simpan di etalase, tak sembarang orang boleh menyentuhnnya. Meski sederhana, namun ia terlihat cantik,bernilai dan terjaga dari tangan-tangan kotor.” Jelas Ratna.”Mana yang lebih mahal?” tanya Ratna sambil terseyum penuh arti. “Kalian menilai Ratna munafik, silahkan. Tapi Ratna yakin, apa yang Ratna perjuangkan sekarang adalah sesuatu yang benar.”
Semua masih tetap diam, jauh dari keadaan sebelumnya, Ratna di bombardir hingga tak sanggup melawan. Sekarang, mereka seperti terkena sihir, semua mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Ratna. “Oya, satu lagi yang perlu kalian ketahui. Allah memang maha pengampun dan penerima taubat, tapi itu bukan jadi alasan kita mudah berbuat maksiat dan dosa. Jangan bangga dengan umur kita sekarang, tidak ada jaminan kita dapat hidup sampai tua.” Ratna berkoar-koar setelah lama menahan gejolak.
“Sudah bu ceramahnya? akhirnya selesai juga siraman rohani ustadzah Ratna kita. Yuk kita cabut, Percuma saja lama-lama di sini” Ajak Zia ketus
Semuanya beranjak pergi dengan raut wajah yang tak mengenakkan. “Maafkan aku. Bagi Ratna ini yang terbaik.”ucap Ratna
***
Malam harinya, ibu mengadukan kecemasannya pada ayah. “Yah, ibu takut pada keadaan Ratna sekarang?”
“Memangnya kenapa bu?”
“Ituloh pak, semenjak beberapa minggu ini, sikapnya berubah. Dia lebih banyak di luar, katanya ikut kegiatan mentoring, dan kalau di rumahpun ia tak banyak bicara, setelah membantu ibu kerjaannya hanya di kamar,mulutnya sering komat-kamit, saat di tanya,”Sedang Dzikir bu”. Ibu takut yah, Ratna ikut aliran sesat. Sebaiknya ayah larang dia ikut mentoring lagi.” Pinta ibu
Setelah mendengar penjelasan itu, ayah segera memanggil Ratna.
“Ada apa yah?” tanya Ratna
“Kata ibu kamu ikut mentoring di sekolah. Ayah mau tahu, apa saja yang kamu lakukan selama mengikuti kegiatan tersebut?” tanya ayah
“Iya, Ratna ikut kegiatan mentoring agar hidup Ratna lebih berwarna. Pertemuan di isi dengan mengkaji Al qur’an, diskusi, dan bakti sosial. Memang ada apa yah, tumben-tumbenan ayah bertanya hal ini pada Ratna?”
“Ratna, mulai saat ini kamu ayah minta untuk tidak mengikuti kegiatan mentoring lagi!” Lugas ayah
Mendengar itu, tentulah Ratna terkejut.”Kenapa yah? Apa yang salah dari kegiatan itu?”
“Banyak alasannya. Pertama, semenjak kamu ikut kegiatan itu kamu jarang di rumah, sering pulang sore, dan hari minggu saja kamu tak ada di rumah. Kedua, Ayah takut kamu ikut aliran sesat. Ibumu bilang kamu sering mengurung diri di kamar, komat-kamit sendiri, dan ketika di tanya, jawabannya selalu bilang sedang dzikir. Ketiga, kamu itukan di sekolahkan untuk belajar. Bukan untuk ikut kegiatan seperti itu.” Jelas ayah
Ratna tahu, orang tuanya pasti belum terbiasa dengan sikap barunya. Dengan hati-hati ia mencoba membela diri. “Ayah, Ratna tahu yang terbaik buat Ratna. Ayah harus percaya sama Ratna. Kegiatan itu positif, bukan aliran sesat, dan juga tidak mengganggu belajar Ratna di sekolah. Malah itu membuat Ratna semakin semangat menuntut ilmu.”
Tak dinyana, ayah menggebrak meja. “Ratna, teriak ayah. “Kamu sudah berani melawan ayah yah. Ayah tidak mau tahu apapun alasannya, kamu tidak boleh ikut mentoring lagi, paham!” Bentak ayah
“Tapi, yah” bela Ratna
“Sudah. ayah lelah. Awas kalau kamu ketahuan masih mengikuti mentoring itu lagi. Jangan sesali kalau ayah memindahkanmu ke SMA lain, atau memberhentikanmu sekolah!” bentak ayah kedua kalinya sambil pergi meninggalkan Ratna yang tak mampu menahan kesedihan, melelehkan air mata, terisak, dan lari ke kamarnya.
***
Tumpahan tangis itu kini membuncah lagi. Namun Ratna menangis di pelukan orang yang mengerti keadaannya. Mbak Nabila, salah satu mentor yang dekat dengannya.
“Lantas, karena semua halangan ini, membuat kamu jadi lemah dan putus asa?” Tanya mbak Nabila
Ratna melepaskan diri pelukan mentornya, dan mengusap air matanya.
“Ratna tidak tahu lagi mbak harus bagaimana. Ratna pikir ini adalah jalan terbaik dan semua orang terdekat akan mendukung. Nyatanya, tidak. Mereka malah memojokkan.” Jelas Ratna kembali sesegukan
Mbak Nabila terseyum, mendekat pada Ratna, dan membisikkan sesuatu ke telinganya. “Minta pertolongan Allah dengan sabar dan shalat. Jalan dakwah yang menghantarkan kita pada syurga tidak landai dan berbunga. Tapi menanjak, berkerikil, panas, dan penuh rintangan. Ratna, Sesuatu yang benar harus di iringi pula cara yang baik. Saran Mbak, kamu harus banyak intropeksi diri. Mungkin cara kamu, atau sikap kamu yang membuat mereka seperti itu. La tahzan, innallaha ma’ana”
Pelukan mereka semakin erat. Ratna semakin kuat menangis. Tangisan bahagia, kata-kata itu mengalir seperti mata air yang menentramkan. “Aku harus samangat. Kebahagian abadi itu tidak mudah di dapatkan. Tawa itu bukan nilai pasti dari kebahagian, ketika kita dapat menjalankan syariat Allah, meski penuh cacian, deraan, tangis juga dapat berarti bahagia.” Ucap hati Ratna.

SELESAI
Pontianak,mei 09.